Judul: Cerpen Perihal Orang Miskin Yang Bahagia
Karya: Agus Noor (Jawa Pos, 31 Januari 2010)
“AKU sudah resmi jadi orang miskin,” katanya, sambil menawarkan Kartu Tanda Miskin, yang gres diperolehnya dari kelurahan. “Lega rasanya, lantaran sehabis bertahun-tahun hidup miskin, balasannya menerima legalisasi juga.”
Kartu Tanda Miskin itu masih bersih, licin, dan mengkilat lantaran di-laminating. Dengan perasaan senang ia menyimpan kartu itu di dompetnya yang lecek dan kosong.
“Nanti, bila saya pingin berbelanja, saya tinggal menggeseknya.”
Diam-diam saya suka mengintip rumah orang miskin itu. Ia sering duduk melamun, sementara anak-anaknya yang dekil bermain riang menahan lapar. “Kelak, mereka niscaya akan menjadi orang miskin yang baik dan sukses,” gumamnya.
Suatu sore, saya melihat orang miskin itu menikmati teh pahit bersama istrinya. Kudengar orang miskin itu berkata mesra, “Ceritakan kisah paling lucu dalam hidup kita....”
“Ialah ketika saya dan bawah umur begitu kelaparan, kemudian menyembelihmu,” jawab istrinya.
Mereka pun tertawa.
Aku selalu iri menyaksikan kebahagiaan mereka.
Orang miskin itu dikenal ulet. Ia mau bekerja serabutan apa saja. Makara tukang becak, kuli angkut, buruh bangunan, pemulung, tukang parkir. Pendeknya, siang malam ia membanting tulang, tapi alhamdulillah tetap miskin juga. “Barangkali saya memang run-temurun dikutuk jadi orang miskin”ujarnya, tiap kali ingat ayahnya yang miskin, kakeknya yang miskin, juga simbah buyutnya yang miskin.
Ia pernah mendatangi dukun, berharap sanggup mengubah garis jelek tangannya.
“Kamu memang punya talenta jadi orang miskin,” kata dukun itu. “Mestinya kau bersyukur, lantaran tidak setiap orang punya talenta miskin menyerupai kamu.”
Kudengar, semenjak itulah, orang miskin itu berusaha konsisten miskin.
Pernah, dengan malu-malu, ia berbisik padaku. “Kadang bosan juga saya jadi orang miskin. Aku pernah berniat memelihara tuyul atau babi ngepet. Aku pernah juga hendak jadi pelawak, supaya sukses dan kaya,” katanya. “Kamu tahu kan, tak perlu lucu jadi pelawak. Cukup bermodal tampang bego dan mau dihina-hina.”
“Lalu kenapa kau tak jadi komedian saja?”
Ia mendadak terlihat sedih, kemudian bercerita, “Aku kenal orang miskin yang jadi pelawak. Bertahun-tahun ia jadi pelawak, tapi tak pernah ada yang tersenyum menyaksikannnya di panggung. Baru ketika ia mati, semua orang tertawa.”
Orang miskin itu pernah kerja jadi badut. Kostumnya rombeng, dan menyedihkan. Setiap menghibur di program ulang tahun, bawah umur yang menyaksikan atraksinya selalu menangis ketakutan.
“Barangkali kemiskinan memang bukan hiburan yang menyenangkan buat anak-anak,” ungkapnya membela diri, ketika balasannya ia dipecat jadi badut.
Kadang-kadang, ketika merasa duka dan lapar, orang miskin itu suka mengibur diri di depan beling dengan gerakan-gerakan badut paling lucu yang tak pernah sanggup membuatnya tertawa.
Orang miskin itu dekat sekali dengan lapar. Setiap kali lapar berkunjung, orang miskin itu selalu mengajaknya berkelakar untuk sekadar melupakan penderitaan. Atau, seringkali, orang miskin itu mengajak lapar bermain teka-teki, untuk menghibur diri. Ada satu teka-teki yang selalu diulang-ulang setiap kali lapar tiba bertandang.
“Hiburan apa yang paling menyenangkan ketika lapar?” Dan orang miskin itu akan menjawabnya sendiri, “Musik keroncongan.”
Dan lapar akan terpingkal-pingkal, sambil menggelitiki perutnya.
Yang menyenangkan, orang miskin itu memang suka melucu. Ia kerap menceritakan kisah orang miskin yang sukses, kepadaku. “Aku punya kolega orang miskin yang saya kagumi,” katanya. “Dia merintis karier jadi pengemis untuk membesarkan empat anaknya. Sekarang satu anaknya di ITB, satu di UI, satu di UGM, dan satunya lagi di Undip.”
“Wah, andal banget!” ujarku. “Semua kuliah, ya?”
“Tidak. Semua jadi pengemis di kampus itu.”
Orang miskin itu sendiri punya tiga anak yang masih kecil-kecil. Paling bau tanah berumur 8 tahun, dan bungsunya belum genap 6 tahun. “Aku ingin mereka juga menjadi orang miskin yang baik dan benar sesuai ketentuan undang-undang. Setidaknya sanggup mengamalkan kemiskinan mereka secara adil dan beradab menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45,” begitu ia sering berkata, yang kedengaran menyerupai bercanda. “Itulah sebabnya saya tak ingin mereka jadi pengemis!”
Tapi, seringkali kuperhatikan ia begitu bahagia, ketika anak-anaknya memberinya recehan. Hasil dari mengemis.
Pernah suatu malam kami nongkrong di warung pinggir kali. Bila lagi punya uang hasil anak-anaknya mengemis, ia memang suka memanjakan diri menikmati kopi. “Orang miskin perlu juga sesekali nyantai, kan? Lagi pula, beginilah nikmatnya jadi orang miskin. Punya banyak waktu buat leha-leha. Makanya, sekali-kali, cobalah jadi orang miskin,” ujarnya, sambil menepuk-nepuk pundakku. “Kalau kau miskin, kau akan punya cukup tabungan penderitaan, yang sanggup dipakai untuk membiayaimu sepanjang hidup. Kamu bakalan punya cadangan kesedihan yang melimpah. Makara kau nggak kaget jikalau susah.” Kemudian pelan-pelan ia menyeruput kopinya penuh kenikmatan.
Saat-saat menyerupai itulah, diam-diam, saya suka mengamati wajahnya.
Wajah orang miskin itu mengingatkanku pada wajah yang selalu muncul setiap kali saya berkaca. Dalam cermin itu kadang ia menggodaku dengan gaya badut paling lucu yang tak pernah membuatku tertawa. Bahkan, setiap kali ia memalsukan gerakanku, saya selalu akal-akalan tak melihatnya.
Pernah, suatu malam, saya melihat bayangan orang miskin itu keluar dari dalam cermin, ber-jalan mondar-mandir, batuk-batuk kecil minta diperhatikan. Ketika saya terus membisu saja, kulihat ia kembali masuk dengan wajah kecewa.
Sejak itu, bila saya berkaca, saya kerap melihat-nya tengah berusaha menyembunyikan isak ta-ngisnya.
Ada saat-saat di mana kuperhatikan wajah orang miskin itu diliputi kesedihan. “Jangan salah paham,” katanya. “Aku duka bukan lantaran saya miskin. Aku duka lantaran berbagai orang yang aib mengakui miskin. Banyak sekali orang bertambah miskin lantaran selalu berusaha supaya tidak tampak miskin.”
Entah kenapa, ketika itu mendadak saya merasa kikuk dengan penampilanku yang perlente. Se-jak itu pula saya jadi tak terlalu suka berkaca.
Bila lagi duka orang miskin itu suka tiba ke pengajian. Tuhan memang sanggup menjadi hiburan menyenangkan buat orang yang lagi kesusahan, katanya. Ia akan terkantuk-kantuk sepanjang ceramah, tapi eksklusif semangat begitu makanan dibagikan.
Ada lagi satu cerita, yang suka diulangnya padaku:
Suatu malam ada seorang pencuri menyatroni rumah orang miskin. Mengetahui hal itu, si miskin segera sembunyi. Tapi pencuri itu memergoki dan membentaknya, “Kenapa kau sembunyi?” Dengan ketakutan si orang miskin menjawab, “Aku malu, lantaran saya tak punya apa pun yang sanggup kau curi.”
Ia mendengar kisah itu dalam sebuah pengajian. “Kisah itu selalu membuatku punya alasan untuk senang jadi orang miskin,” begitu ia selalu mengakhiri cerita.
Orang miskin itu pernah ditangkap polisi. Saat itu, di kampung memang terjadi beberapa kali pencurian, dan sudah sepatutnyalah orang miskin itu dicurigai. Ia diinterogasi dan digebugi. Dua hari kemudian gres dibebaskan. Kabarnya ia diberi uang supaya tak menuntut. Berminggu-minggu wajahnya bonyok dan memar. “Beginilah enaknya jadi orang miskin,” katanya. “Di-tu-duh mencuri, dipukuli, dan dikasih duit!”
Sejak itu, setiap kali ada yang kecurian, orang miskin itu selalu mengakui jikalau ia pelakunya. Dengan impian ia kembali dipukuli.
Banyak orang berkerumun sore itu. “Ada yang mati,” kata seseorang. Kukira orang miskin itu tewas dipukuli. Ternyata bukan. “Itu wanita yang kemarin gres melahirkan. Anaknya sudah selusin, suaminya minggat, dan ia merasa repot jikalau mesti menghidupi satu jabang bayi lagi. Makanya ia menentukan aben diri.”
Perempuan itu ditemukan mati gosong, sambil mendekap bayi yang disusuinya. Orang-orang yang mengangkat mayatnya bersumpah, jikalau air susu wanita itu masih menetes-netes dari putingnya.
Sepertinya ini memang lagi demam isu orang miskin bunuh diri. Dua hari lalu, ada seorang ibu sengaja menabrakkan diri ke kereta api sambil menggendong dua anaknya. Ada lagi sekeluarga orang miskin yang kompak menenggak racun. Ada juga suami istri gantung diri lantaran bosan dililit hutang.
“Tak simpel memang jadi orang miskin,” ujar orang miskin itu. “Hanya orang miskin ga-dungan yang mau mati bunuh diri. Untunglah, kini saya sudah resmi jadi orang miskin,” ungkapnya sembari menepuk-nepuk dompet di pantat teposnya, di mana Kartu Tanda Miskin itu dirawatnya. “Ini bukti jikalau saya orang miskin sejati.”
Orang miskin punya ponsel itu biasa. Hanya orang-orang miskin yang ketinggalan zaman saja yang tak mau berponsel. Tapi saya tetap saja kaget ketika orang miskin itu muncul di rumahku sambil menenteng telepon genggam.
“Orang yang sudah resmi miskin menyerupai aku, boleh dong bergaya!” katanya dengan gagah. Lalu ia sibuk memencet-mencet ponselnya, menelepon ke sana kemari dengan bunyi yang sengaja dikeras-keraskan, “Ya, hallo, apa kabar? Bagaimana bisnis kita? Halooo....”
Padahal ponsel itu tak ada pulsanya.
Ia juga punya kartu nama sekarang. Di kartu nama itu bertengger dengan gagah namanya, daerah tinggal, dan jabatannya: Orang Miskin.
Ia memang jadi kelihatan keren sebagai orang miskin. Ia suka keliling kampung, menenteng ponsel, sambil bersiul entah lagu apa. “Sekarang anak-anakku tak perlu lagi repot-repot me-ngemis dengan tampang dimelas-melaskan,” katanya. “Buat apa? Toh kini kami sudah nyaman jadi orang miskin. Tak sembarang orang sanggup punya Kartu Tanda Miskin menyerupai ini.”
Ia mengajakku merayakan pelantikan kemiskinannya. Dibawanya saya ke warung yang biasa dihutanginya. Semangkuk soto, ayam goreng, sambal terasi dan nasimyang tambah hingga tiga kali disantapnya dengan lahap. Sementara saya hanya memandanginya.
“Terima kasih telah mau merayakan kemiskinanku,” katanya. “Karena saya telah benar-benar resmi jadi orang miskin, sudah sepantasnya jikalau kau yang membayar semuanya.”
Sambil bersiul ia segera pergi.
Ketika tubuhnya digerogoti penyakit, dengan enteng orang miskin itu melenggang ke rumah sakit. Ia menyerahkan Kartu Tanda Miskin pada suster jaga. Karena banyak bangsal kosong, suster itu menyuruhnya menunggu di lorong. “Beginilah enaknya jadi orang miskin,” batinnya, “dapat akomodasi gratis tidur di lantai.” Dan orang miskin itu dibiarkan menunggu berhari-hari.
Setelah tanpa pernah diperiksa dokter, ia disuruh pulang. “Anda sudah sumbuh,” kata perawat, kemudian memberinya obat murahan.
Orang miskin itu pulang dengan riang. Kini tak akan pernah lagi takut pada sakit. Saat anak-anaknya tak pernah sakit, ia jadi kecewa. “Apa gunanya kita punya Kartu Tanda Miskin jikalau kau tak pernah sakit? Tak baik orang miskin selalu sehat.”
Mendengar itu, mata istrinya berkaca-kaca.
Beruntung sekali orang miskin itu punya istri yang tabah, kata orang-orang. Kalau tidak, wanita itu niscaya sudah usang bunuh diri. Atau menentukan jadi pelacur ketimbang terus hidup dengan orang miskin menyerupai itu.
Tak ada yang tahu, belakang layar wanita itu sering menyelinap masuk ke rumahku. Sekadar untuk uang lima ribu.
Suatu sore yang cerah, saya melihat orang miskin itu mengajak anak istrinya pergi berbelanja ke mal. Benar-benar keluarga miskin yang sakinah, batinku. Ia memborong apa saja sebanyak-banyaknya. Anak-anaknya terlihat begitu gembira.
“Akhirnya kita juga sanggup menyerupai mereka,” bisik orang miskin itu pada istrinya, sambil me-nunjuk orang-orang yang sedang antre membayar dengan kartu kredit. Di kasir, orang miskin itu pun segera mengeluarkan Kartu Tanda Miskin miliknya,
“Ini kartu kredit saya.”
Tentu saja, petugas keamanan eksklusif mengusirnya.
Ia hening anak-anaknya tak sanggup sekolah. “Buat apa mereka sekolah? Entar malah jadi kaya,” katanya. “Kalau mereka tetap miskin, malah banyak gunanya, kan? Biar ada yang terus berdesak-desakan dan saling injak setiap kali ada pembagian beras dan sumbangan. Biar ada yang terus sanggup ditipu setiap menjelang pemilu. Kau tahu, itulah sebabnya, kenapa di negeri ini orang miskin terus dikembangbiakkan dan dibudidayakan.”
Aku membisu mendengar omongan itu. Uang dalam amplop yang tadinya mau saya berikan, pelan-pelan kuselipkan kembali ke dalam saku.
Takdir memang selalu punya cara yang tak terduga supaya selalu tampak mengejutkan. Tanpa firasat apa-apa, orang miskin itu mendadak mati. Anak-anaknya hanya termenung memandangi mayatnya yang terbujur menyedihkan di ranjang. Sementara istrinya terus menangis, bukan lantaran sedih, tapi lantaran gundah mesti beli kain kafan, nisan, hingga harus bayar lunas kuburan.
Seharian wanita itu pontang-panting cari utangan, tetapi tetap saja uangnya tak cukup buat biaya pemakaman. “Bagaimana, mau dikubur tidak?” Para pelayat yang sudah usang menunggu mulai menggerutu.
Karena merasa hanya bikin susah dan merepotkan, maka orang miskin itu pun memutuskan untuk hidup kembali. Sejak insiden itu, kuperhatikan, ia jadi sering murung. Mungkin lantaran banyak orang yang kini selalu mengolok-oloknya.
“Dasar orang miskin keparat,” begitu sering orang-orang mencibir bila ia lewat, “mau mati saja pakai nipu.”
“Apa dikira kita nggak tahu, itu kan logika bulus biar sanggup sumbangan.”
“Dasarnya ia emang suka menipu, kok! Ingat nggak, dulu ia sering keliling minta sumbangan, akal-akalan buat bikin masjid. Padahal hasilnya ia tilep sendiri.”
“Kalian tahu, kenapa ia tak jadi mati? Karena neraka pun tak sudi mendapatkan orang miskin kayak dia!”
Orang-orang pun tertawa ngakak.
Nasib jelek kadang memang kurang ajar. Suatu hari, orang miskin itu berubah jadi anjing. Itulah hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Anak istrinya yang kelaparan segera menyembelihnya. (*)
Jakarta-Singapura, 2009
Agus Noor, penulis naskah teater/monolog dan cerpenis. Tinggal di Jogja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar