situs tips dan trik dan berbagai hal tentang dunia internet, penjelasan, cara , pengertian dan juga fungsi.

Sabtu, 06 September 2014

Cerpen Juru Masak Karya Damhuri Muhammad


Cerpen Juru Masak Karya Damhuri Muhammad - Perhelatan bisa kacau tanpa kehadiran lelaki itu. Gulai Kambing akan terasa hambar karena racikan bumbu tak meresap ke dalam daging. Kuah Gulai Kentang dan Gulai Rebung bakal encer karena keliru menakar jumlah kelapa parut hingga setiap hidangan masakan kekurangan santan. Akibatnya, berseraklah gunjing dan cela yang mesti ditanggung tuan rumah, bukan karena kenduri kurang meriah, tidak pula karena pelaminan daerah bersandingnya pasangan pengantin tak sedap dipandang mata, tapi karena macam-macam hidangan yang tersuguh tak menggugah selera. Nasi banyak gulai melimpah, tapi helat tak bikin kenyang. Ini celakanya bila Makaji, juru masak handal itu tak dilibatkan.

Beberapa tahun lalu, pesta perkawinan Gentasari dengan Rustamadji yang digelar dengan menyembelih tigabelas ekor kambing dan berlangsung selama tiga hari, tak berjalan mulus, bahkan hampir saja batal. Keluarga mempelai laki-laki merasa dibohongi oleh keluarga mempelai perempuan yang semula sudah berjanji bahwa semua urusan masak-memasak selama kenduri berlangsung akan dipercayakan pada Makaji, juru masak nomor satu di Lareh Panjang ini. Tapi, di hari pertama perhelatan, ketika rombongan keluarga mempelai laki-laki tiba, Gulai Kambing, Gulai Nangka, Gulai Kentang, Gulai Rebung dan aneka hidangan yang tersaji ternyata bukan masakan Makaji. Mana mungkin keluarga calon besan itu bisa dibohongi? Lidah mereka sudah sangat terbiasa dengan masakan Makaji.

“Kalau besok Gulai Nangka masih sehambar hari ini, kenduri tak usah dilanjutkan!” ancam Sutan Basabatuah, penghulu tinggi dari keluarga Rustamadji.

“Apa susahnya mendatangkan Makaji?”

“Percuma bikin helat besar-besaran bila hidangan yang terhidang hanya bikin malu.”

Begitulah pentingnya Makaji. Tanpa campur tangannya, kenduri terasa hambar, sehambar Gulai Kambing dan Gulai Rebung karena bumbu-bumbu tak diracik oleh tangan hirau taacuh lelaki itu. Sejak dulu, Makaji tak pernah keberatan membantu keluarga mana saja yang hendak menggelar pesta, tak peduli apakah tuan rumah hajatan itu orang terpandang yang tamunya membludak atau orang biasa yang hanya sanggup menggelar syukuran seadanya. Makaji tak pilih kasih, meski ia satu-satunya juru masak yang masih tersisa di Lareh Panjang. Di usia senja, ia masih tangguh menahan kantuk, tangannya tetap gesit meracik bumbu, masih kuat ia berjaga semalam suntuk.

***

“Separuh umur Ayah sudah habis untuk membantu setiap kenduri di kampung ini, bagaimana jikalau tanggungjawab itu dibebankan pada yang lebih muda?” saran Azrial, putra sulung Makaji sewaktu ia mudik enam bulan lalu.

“Mungkin sudah saatnya Ayah berhenti,”

“Belum! Akan Ayah pikul beban ini hingga tangan Ayah tak lincah lagi meracik bumbu,” balas Makaji waktu itu.

“Kalau memang masih ingin jadi juru masak, bagaimana jikalau Ayah jadi juru masak di salah satu Rumah Makan milik saya di Jakarta? Saya tak ingin lagi berjauhan dengan Ayah,”

Sejenak Makaji membisu mendengar proposal Azrial. Tabiat orangtua selalu begitu, walau terasa semanis gula, tak bakal pribadi direguknya, meski sepahit empedu tidak pula buru-buru dimuntahkannya, mesti matang ia menimbang. Makaji memang sudah usang menunggu permintaan menyerupai itu. Orangtua mana yang tak ingin berkumpul dengan anaknya di hari tua? Dan kini, gayung telah bersambut, sekali saja ia mengangguk, Azrial segera memboyongnya ke rantau, Makaji tetap akan punya kesibukan di Jakarta, ia akan jadi juru masak di Rumah Makan milik anaknya sendiri.

“Beri Ayah kesempatan satu kenduri lagi!”

“Kenduri siapa?” tanya Azrial.

“Mangkudun. Anak gadisnya gres saja dipinang orang. Sudah terlanjur Ayah sanggupi, aib jikalau tiba-tiba dibatalkan,”

Merah padam muka Azrial mendengar nama itu. Siapa lagi anak gadis Mangkudun jikalau bukan Renggogeni, perempuan masa lalunya. Musabab hengkangnya ia dari Lareh Panjang tidak lain yakni Renggogeni, anak perempuan tunggal babeleng itu. Siapa pula yang tak kenal Mangkudun? Di Lareh Panjang, ia dijuluki tuan tanah, hampir sepertiga wilayah kampung ini miliknya. Sejak dulu, orang-orang Lareh Panjang yang kesulitan uang selalu beres di tangannya, mereka tinggal menyebutkan sawah, ladang atau tambak ikan sebagai agunan, dengan bahagia hati Mangkudun akan memegang gadaian itu.

Masih segar dalam ingatan Azrial, waktu itu Renggogeni hampir simpulan dari perguruan tinggi perawat di kota, tak banyak orang Lareh Panjang yang bisa bersekolah tinggi menyerupai Renggogeni. Perempuan kuning langsat pujaan Azrial itu benar-benar akan menjadi seorang juru rawat. Sementara Azrial bukan siapa-siapa, hanya tamatan madrasah aliyah yang sehari-hari bekerja honorer sebagai sekretaris di kantor kepala desa. Ibarat emas dan loyang perbedaan mereka.

“Bahkan bila ia jadi kepala desa pun, tak sudi saya punya menantu anak juru masak!” hardik Mangkudun, dan tak usang berselang info ini berdengung juga di kuping Azrial.

“Dia laki-laki taat, jujur, bertanggungjawab. Renggo yakin kami berjodoh,”

“Apa kamu bilang? Jodoh? Saya tidak rela kamu berjodoh dengan Azrial. Akan saya carikan kamu jodoh yang lebih bermartabat!”

“Apa ia salah jikalau ayahnya hanya juru masak?”

“Jatuh martabat keluarga kita bila laki-laki itu jadi suamimu. Paham kau?”

Derajat keluarga Azrial memang seumpama lurah tak berbatu, menyerupai sawah tak berpembatang, tak ada yang bisa diandalkan. Tapi tidak patut rasanya Mangkudun memandangnya dengan sebelah mata. Maka, dengan berat hati Azrial melupakan Renggogeni. Ia hengkang dari kampung, pergi membawa luka hati. Awalnya ia hanya tukang basuh piring di Rumah Makan milik seorang perantau dari Lareh Panjang yang lebih dulu mengadu untung di Jakarta. Sedikit demi sedikit dikumpulkannya modal, semoga tidak selalu bergantung pada induk semang. Berkat kegigihan dan kerja keras selama bertahun-tahun, Azrial sekarang sudah jadi juragan, punya enam Rumah Makan dan duapuluh empat anak buah yang tiap hari sibuk melayani pelanggan. Barangkali, ada hikmahnya juga Azrial gagal mempersunting anak gadis Mangkudun. Kini, lelaki itu kerap disebut sebagai orang Lareh Panjang paling sukses di rantau. Itu sebabnya ia ingin membawa Makaji ke Jakarta. Lagi pula, semenjak ibunya meninggal, ayahnya itu sendirian saja di rumah, tak ada yang merawat, adik-adiknya sudah terbang-hambur pula ke negeri orang. Meski hidup Azrial sudah berada, tapi ia masih saja membujang. Banyak yang ingin mengambilnya jadi menantu, tapi tak seorang perempuan pun yang bisa luluhkan hatinya. Mungkin Azrial masih sulit melupakan Renggogeni, atau jangan-jangan ia tak sungguh-sungguh melupakan perempuan itu.

***

Kenduri di rumah Mangkudun begitu semarak. Dua kali meriam ditembakkan ke langit, menunjukan dimulainya perhelatan agung. Tak biasanya pusaka peninggalan sesepuh etika Lareh Panjang itu dikeluarkan. Bila yang menggelar kenduri bukan orang besar lengan berkuasa menyerupai Mangkudun, tentu tak sembarang dipertontonkan. Para tetua kampung menyiapkan pertunjukan pencak guna menyambut kedatangan mempelai pria. Para pesilat turut ambil belahan memeriahkan pesta perkawinan anak gadis orang terkaya di Lareh Panjang itu. Maklumlah, menantu Mangkudun bukan orang kebanyakan, tapi perwira muda kepolisian yang gres dua tahun bertugas, anak bungsu pensiunan tentara, orang disegani di kampung sebelah. Kabarnya, Mangkudun sudah banyak membantu laki-laki itu, semenjak dari sebelum ia lulus di perguruan tinggi kepolisian hingga resmi jadi perwira muda. Ada yang bergunjing, perjodohan itu terjadi karena keluarga pengantin laki-laki hendak membalas jasa yang dilakukan Mangkudun di masa lalu. Aih, perkawinan atas dasar hutang budi.

Mangkudun benar-benar menepati janji pada Renggogeni, bahwa ia akan carikan jodoh yang sepadan dengan anak gadisnya itu, yang jauh lebih bermartabat. Tengoklah, Renggogeni sekarang tengah bersanding dengan Yusnaldi, perwira muda polisi yang bila tidak ‘macam-macam’ tentu karirnya lekas menanjak. Duh, betapa beruntungnya keluarga besar Mangkudun. Tapi, pesta yang digelar dengan menyembelih tiga ekor kerbau jantan dan tujuh ekor kambing itu tak begitu ramai dikunjungi. Orang-orang Lareh Panjang hanya tiba di hari pertama, sekedar menyaksikan benda-benda pusaka etika yang dikeluarkan untuk menyemarakkan kenduri, sehabis itu mereka berbalik meninggalkan helat, bahkan ada yang belum sempat merasakan hidangan tapi sudah tergesa pulang.

“Gulai Kambingnya tak ada rasa,” bisik seorang tamu.

“Kuah Gulai Rebungnya encer menyerupai kuah sayur Toge. Kembung perut kami dibuatnya,”

“Dagingnya keras, tidak kempuh. Bisa rontok gigi awak dibuatnya,”

“Masakannya tak mengeyangkan, tak mengundang selera.”

“Pasti juru masaknya bukan Makaji!”

Makin ke ujung, kenduri makin sepi. Rombongan pengantar mempelai laki-laki rahasia juga kecewa pada tuan rumah, karena mereka hanya dijamu dengan hidangan masakan yang asal-asalan, kurang bumbu, kuah encer dan daging yang tak kempuh. Padahal mereka bersemangat tiba karena pesta perkawinan di Lareh Panjang punya keistimewaan tersendiri, dan keistimewaan itu ada pada rasa masakan hasil olah tangan juru masak nomor satu. Siapa lagi jikalau bukan Makaji?

“Kenapa Makaji tidak turun tangan dalam kenduri sepenting ini?” begitu mereka bertanya-tanya.

“Sia-sia saja kenduri ini bila bukan Makaji yang meracik bumbu,”

“Ah, menyesal kami tiba ke pesta ini!”

***

Dua hari sebelum kenduri berlangsung, Azrial, anak laki-laki Makaji, tiba dari Jakarta. Ia pulang untuk menjemput Makaji. Kini, juru masak itu sudah berada di Jakarta, mungkin tak akan kembali, karena ia akan menghabiskan hari bau tanah di akrab anaknya. Orang-orang Lareh Panjang telah kehilangan juru masak handal yang pernah ada di kampung itu. Kabar kepergian Makaji hingga juga ke indera pendengaran pengantin gres Renggogeni. Perempuan itu sanggup membayangkan betapa terpiuh-piuhnya perasaan Azrial sehabis mendengar kabar kekasih pujaannya telah dipersunting lelaki lain.


Judul: Juru Masak
Karya: Damhuri Muhammad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar