situs tips dan trik dan berbagai hal tentang dunia internet, penjelasan, cara , pengertian dan juga fungsi.

Sabtu, 06 September 2014

Cerpen Sulaiman Pergi Ke Tanjung Cina Karya Hanna Fransisca


Judul: Sulaiman Pergi Ke Tanjung Cina
Karya: Hanna Fransisca


Kemilau emas memancar ketika Zhu membentangkan benang emas di sudut kain pelepai. Sinar perak jarum di tangannya menyulam satu kehidupan tajam yang menusuk. Udara Danau Menjukut berbau bunga kopi, bertiup perlahan memasuki rongga hati, dan menghempas dada Zhu pada barisan awan di langit menuju ke arah lau, ke arah pantai, ke arah teluk Tanjung Cina. Di sanalah Sulaiman, lelaki yang telah menebas separuh umurnya, telah terkubur dan pergi.

“Sulaiman. Sulaiman. Itulah Zhu, dan saya bicara padamu!”

Bukit Barisan Selatan yang memanjang bergelombang mirip hidup, karang-karang yang menjorok runcing dan tegak menuju ke arah perih maritim Hindia, dari Krui hingga Pulau Betuah. Dan bunga-bunga kopi, dan pucuk-pucuk damar, dan awan awan biru semua jelmaan tanah Tuhan ini, semata tercipta untuk kesetiaan cinta pada Sulaiman.

Kegembiraan separuh umur, dan kesedihan pada ujung hidupnya, membuat runcing jari-jari Zhu pandai menari. Menari dan bernyanyi di atas hamparan kain sulaman. Menyerut seluruh jiwa yang sedih, yang gembira, yang mabuk, dan putus asa. Lautan asmara, nyanyian cinta, kerinduan perih, dan kebanggaan kepada tanah tempat lelakinya terkubur. Ia menyeru di atas sehelai kain pelepai, menggambar pola-pola yang rumit, dan membayangkan seluruh dirinya masuk. Menjadi naga yang menggerakkan seluruh gelombang tanah, bukit, gunung-gunung, menjadi liukan benang-benang emas dan rajutan benang-benang perak yang berkelit dan berkelindan dalam gulungan warna aroma ombak, hijau daun, putih awan.

Ada merah api cinta yang semerbak disana, ada kuning sejarah yang membentang di atas helai kain pelepai sehabis dicipta berhari-hari. Begitu indah, dan selalu: delapan belas hari kemudian ia akan berjalan dari Danau Menjukut ke arah bukit. Mencari angin yang bisa memberikan gema suaranya ke arah laut. Mencari tempat dimana ia bebas memandang pada titik pantai Tanjung Cina, yang diapit Selat Sunda serta Samudera Hindia. Di atas kerikil ia selalu akan menjiplak gerak laut, mengibarkan kain tapis dan berteriak gembira.

“Sulaiman. Sulaiman. Itulah kain tapismu yang ke 340! Akulah Zhu, istrimu. Perempuan yang telah membuat tarian sulaman benang dari separuh jiwaku. Dan kini saya bicara padamu! Sulaiman. Sulaiman. Itulah Zhu, dan saya bicara padamu.”

***

Setiap puncak Krakatau menyembul ketika gelombang maritim surut di pagi hari, maka akan terlihat ribuan walet terbang berputar-putar mencari kehangatan perpaduan kepundan dan matahari yang kehangatan udaranya mungkin tidak akan pernah diketemukan di benua manapun. Lalu menjelang sepenggalah hari, gerombolan hitam ribuan burung maritim yang gesit itu akan bergerak cepat memintas selat menuju teluk Lampung dan Teluk Semangka. Di sanalah nirwana dari segala keriangan makhluk hitam itu tersedia, dari pagi hingga petang. Dari rantai masakan hingga kenyamanan angin, udara, dan matahari, yang mencipta gairah untuk syarat berkembang biak ratusan, bahkan mungkin ribuan tahun tersedia secara alamiah sepanjang hari. Seiring waktu bergeser, hingga senja mulai membayang, mereka kemudian akan bergerombol berlesatan menuju pulau Tabuan, menunggu gelap sempurna. Lantas gerombolan hitam itu akan memecah diri menjadi kelompok-kelompok kecil, dan bergerak bercericit menuju banyak sekali arah mata angin: Kota Agung, Kalianda, dan Bandar Lampung. Di kota-kota beraroma pantai itulah, mereka menemukan sarang. Istana tempat terlelap di malam hari, yakni rumah-rumah gelap, lembab dan nyaman, berupa gedung-gedung tinggi menjulang berbentuk kotak beton tak berjendela.

Hamparan ratusan kotak beton di seantero kota-kota itu, yaitu jebakan cerdik yang dibikin oleh insan untuk memindahkan mereka dari kehidupan lepas di pantai-pantai berkarang sepanjang Bukit Barisan Selatan. Sesungguhnyalah, wallet yaitu makhluk yang menyayangi kenyamanan, kemudahan, dan jalan pintas yang praktis. Mereka tentu tidak diciptakan Tuhan untuk berpikir wacana kebebasan. Maka bermigrasilah, setiap hari ratusan hingga ribuan walet memadati jebakan-jebakan nyaman yang dibentuk untuk diburu. Diburu sarangnya, yang kelak diperjualbelikan sebagai barang abnormal dengan harga teramat tinggi.

Migrasi walet yang membawa harta karun dari sarangnya yang tak ternilai, yaitu juga berarti migrasi insan (para pemburu walet) yang bergelombang tiba dari banyak sekali pulau seberang. Maka begitulah sejarah kota kemudian terbentuk, mejadi bandar yang ramai, menjadi tempat singgah para pelancong yang jadinya menetap kawin dan beranak-pinak. Maka begitu jugalah sejarah kedatangan Zhu yang tiba pertama kali ke Bandar Lampung, dengan membawa pesona kecerdasan dan keuletan, serta aroma kecantikan wanita matang di usia pandai balig cukup akal seorang anak saudagar besar dengan talenta cemerlang.

Zhu mengawali sejarah dengan melaksanakan perjalanan jauh dari pulaunya, Kalimantan Timur. Meninggalkan leluhur menuju satu titik: kota berteluk hangat di Selat Sunda. Para pedagang antar pulau telah mengabarkan sebuah belakang layar besar di hadapan ayahnya, Zhu Miau Jung, “Ada ratusan ribu walet memadati puncak gunung tengah maritim di Selat Sunda. Ada teluk di ujung timur pulau Sumatera, yang memanjang dengan tebing-tebing karang menuju gugusan Bukit Barisan. Ada kota-kota beraroma pantai. Ada beberapa orang berhasil membuat jebakan rumah bagi ribuan walet yang malang!”

Begitulah Zhu, memulai sejarah dengan membuat jebakan dari sepetak tanah yang ia beli, dan membangunnya menjadi istana walet, dengan keahlian yang tidak diragukan. Ya ya ya, dialah wanita dengan aroma maritim yang berpadu keindahan teratai. Dialah wanita dengan masa depan gemilang, dari kegigihan dan keuletan. Dialah yang semenjak lahir dididik sebagai pemburu walet ulung yang kelak berhak menyandang keahlian serta nama besar Zhu Miau Jung pemburu walet paling populer karena ketajaman instingnya.

Konon Zhu Miau Jung telah melahirkan legenda, bahwa hanya dialah yang bisa mengerti bahasa burung! Nyaris seluruh pedagang besar di Nusantara Timur percaya. Maka ketika info keajaiban wacana Selat Sunda tiba, ia tertantang untuk mendorong putri satu-satunya pergi. “Bukan karena usiaku telah mulai tua. Bukan itu. Petualangan untuk sebuah penaklukan tak pernah mengenal umur. Tapi kamu harus segera memutuskan pilihan hidupmu. Pergilah, Zhu, kamu sudah pantas dan matang untuk memulai. Buru dan tangkap walet-walet itu, dan letakkan dalam jumlah ribuan di dadamu, untuk melanjutkan nama besar ayahmu, untuk nama baik leluhurmu!”

Ada deraian hujan pada matanya sempit, membuat setiap orang yang dijumpainya tunduk dengan bahagia hati. Keramahan pada rambutnya panjang berkibar, kesopanan pada putih kulit seterang bulan, dan lesung pipitnya yang berkali membikin lelaki mabuk karena rindu. Zhu Ni Xia, menjadi populer seantero mata angin.

Dari Liwa hingga Kotabumi, bahkan orang-orang Menggala seringkali singgah untuk menukar pisang dan getah damar, dengan beras dan gula. Dari walet menjadi bandar, meluaskan niaga dengan membangun puluhan gudang: tempat menukar damar menjadi gula, atau ratusan karung kopi ditukar dengan kain dan gemerincing mata uang. Kapal-kapal barang yang singgah selalu menjabat tangan Zhu dengan hormat, dan memberikan salam kebesaran atas nama marga Zhu. “Selamat dan sejahtera, pada bisnis Nona Zhu yang semakin maju.”

***

Akulah lelaki yang menentang angin di malam ketika serentetan tembakan menggema sepanjang malam. Nyala api membumbung, aben lumbung, aben atap dan dinding-puluhan rumah. Demi tuhan, kesedihan turun lewat langkah-langkah bergegas,dan teriakan tamat hayat menggema pada lading-ladang kopi. Sayup dibalai kampong sekumpulan lelaki memainkan gamelan bamboo cetik, dengan nada putus-asa, seolah dengan pukulan-pukulan itu mereka menyatakan bahwa mereka yaitu sekelompok petani pribumi yang punya hak sama, dan tak sudi untuk pergi.

Sejak sore hari, menjelang magrib, gejala itu sudah dimulai. Made sukari berlari menurunin bukit, sambil terus menunjukan ke arah lembah,”Celaka. Mereka betul-betul tengah bergerak! Mereka hendak menyerbu!”

Dua ekor gajah telah mati,seminggu sebelum kegawatan semakin memuncak, dan made sukari berlari member tanda menurunin bukit. Wajah-wajah pucat dan gemetaran menjalar, melewati lading, kebun, dan  rumah-rumah yang pribadi siaga.

“Siapa lagi yang telah membunuh gajah-gajah itu? Demi tuhan,ini menandakan celaka!”

Dua gajah telah mati. Sebelumnya, empat ekor gajah di temukan tanpa nyawa dengan leher terbelah dan gading lenyap meninggalkan dua bolongan kasar di kepala. Tak ada petani di kualakambas yang tega membunuh makhluk raksasa bermata lembut. Puluhan, bahkan ratusan kali mereka menghalau gajah-gajah yang tersesat di lading, hanya dengan teriakan serta sapaan,” pergilah manis,hus,hus,pergilah dari ladng kami.”antara gajah dan petani telah mempunyai tautan hati yang sama. Tak perlu ada perang  menempel, apalagi hingga memebelah leher.

Mereka akan pergi dengan langkah lamban,dan belum dewasa seringkali menyanyikan nyanyian gembira sebagai pengiring, “pergilah wahai barisan gendut, menuju hutan,bersama angin,menyongsong hujan....”

Tapii gajah-gajah itu telah terlanjur mati, dibunuh dengan keji. Dan gajah yang mati akan menuntut balas dari Negara. Sudah terlalu usang kampong ini berurusan dengan Negara. Bahkan 18 tahun silam, ayahku terbunuh bersama 200 petani kopi yang dianggap membangkang,memberontak,hanya karena ia kukuh berkata: ”Sudah berpuluh tahun kami berdiam disini, sebelum tempat hutan Negara ditetapkan. Kami tidak tinggal di hutan, tidak merusak hutan, dan tidak punya niat menjarah hutan. Kami yaitu petani! Kami yaitu pribumi, meski leluhur kami berasal dari banyak sekali pulau dan banyak sekali suku!kami adalah...”

Akulah lelaki yang menentang angin di malam ketika serentetan tembakan menggema sepanjang malem. Akulah yang seringkali berkata kepada mereka, bahwa tamat hayat gajah-gajah hanyalah bantalan an biar kami semua dianggap bersalah, dan berhak untuk dipaksa pergi. “pergilah kalian, bakar kebun kopi dan lading, dan berhak untuk dikembalikan menjadi hutan!” begitulah yang seringkali kudengar dari verbal ibuku ketika menceriterakan bagaimana ayahku mati. Maka tak perlu lagi bertanya wacana siapa pembunuh gajah, kenapa gajah harus dibunuh. Demi tuhan, ketika made sukari berlari menuruni bukit, dan para lelaki berkumpul dibalai kampong kemudian memainkan gamelan bamboo cetikdengan putus asa, saya sudah berkata: “Larilah ke hutan. Carilah jalan.”



Tapi mereka bergeming. Lalu bunyi tembakan, kemudian asap pertama mengepul, kemudian suara-suara jeritan, teriakan dan entah-barangkali kematian. Gelap saya menerabas pepohonan,menyeretn tanggan Nyiwar-ibuku.berkelebetan di pekat hutan, terus berlari, menerabas berhari-hari.entah berapa waktu telah hilang digerus perih dan lapar,dan kesakitan. Hinggah tiba di kampong yang entah,sebuah jalan raya, dan truk pengangkut karet membawaku ke depan pintu gerbang ini.

“Tolong bukakan gerbang.katakan pada Nona Zhu, saya sulaiman. Saya tidak sedang membawa barang. Saya harus ketemu Nona Zhu.”


***


Sulaiman, dan berpuluhan lelaki yang ia kenal baik, biasanya tiba membawa karung-karung biji kopi kering dengan kualitas terbaik. Tapi kali ini, Zhu melihat sesosok  lelaki berantakan, penuh ukiran luka, serta menggengam bungkusan kain-yang terang pastilah bukan biji kopi- dan memandang kepadanya dengan tatapan gawat. Zhu melangkah mundur dengan refleks, “Cepat masuk!”

“Mohon maaf, Nona Zhu, ini ibu saya,”sulaiman memperkenalkan Nyiwar. “saya tidak membawa...”

“Sutinaaaahhh,” Zhu memanggil pelayan, kemudian menatap sulaiman, “kalian belum makan berhari-hari? Demi tuhan, saya sudah mendengar berita-berita soal kerusuhan di kualakambas. Hampir semua supir menceritakan isu-isu simpang siur. Astaga.”


“Saya, Nona,” seorang pelayan wanita muncul. “Segera siapkan makanan!” Zhu menghirup nafas dalam-dalam. “ setiap petugas yang dating mengusut gudangku, selalu saya kataka, bahwa saya tak pernah mendapatkan biji kopi dari perkampungan yang masuk tempat hutan Negara. Tapi kamu tahu, sulaiman, bertahun-tahun saya tetap mendapatkan kopi dari kalian. Selalu dalam pikiranku, bahwa ada sesuatu yang salah dari negeri  ini. Nah, hingga dua hari lalu, saya menerima pengutamaan yang lebih keras, bahkan ancaman, kalau ada karung-karung biji kopi yang dicurigai berasal dari tempat hutan Negara, gudangku akan dibakar. Nah, bisa apa aku, sulaiman?sekarang engkau makanlah bersama ibumu. Sutinah sudah menyiapakannya. Setelah itu, pergilah.... Demi tuhan, sulaiman, saya tak bisa berbuat apa-apa. Bisa apa aku, dalam kondisi mirip ini? Aku tidak bisa menunjukkan kalian untuk tinggal.”


“saya memang tidak tahu dimana saya harus tinggal,Nona. Saya dating ke sini karena bertahun-tahun Nona melindungi kami, dengan cara tetap membeli kopi dari kebun kami meskipun teramat besar resiko buat Nons. Tentu say tidak akan lagi merepotkan....”

Ada nada perih, dan Zhu tak mampu menatap wajah lelaki itu.


[…]



Selalu ia berkata: ”Belum saatnya engkau mengerti,Zhu. Tetap tinggallah di kamar. Jangan keluar rumah.jagan bercerita pada siapa pun, bahwa ada banyak orang dirumah ini. Engkau mengerti?”

Dan ia hanya mengangguk.dan bertahun-tahun kemudian, barulah ia mengerti.


Lalu kini, di hadapannya, seorang lelaki muda dan seorang wanita tua, menjadi perlarian dan tiba di depan gerbang pintu rumahnya. Ia melihat kedua orang itu dari jauh, dari sebrang meja makan, dan air mata Zhu menitik dalam diam. Demi tuhan, bukan dua sosok di meja makan itulah yang ia lihat, tapi bayangan sebelas tahun silam serta keagungan ayahnya yang bisa berdiri tegak diantara  para perlarian, meskipun penuh resiko.


“Terimakasih, Nona. Hanya delapan belas kain tipis itulah barang yang bisa kami bawa. Terserah Nona, mau dinilai berapa. Kami membutuhkan uang untuk pergi ke jawa.delapan belas kain tipis ini, disulam ibu saya dengan sepenuh jiwa bertahun-tahun,” begitulah sulaiaman berkata.

Lalu Zhu melihat kepergian dua orang itu. Terpaksa hanya bisa melihat. Dengan hati perih.


***


Siapa nanya, bahwa delapan belas helai kain tapis buatan tangan Nyiwar, telah membuat batin Zhu tercabik parah dan gila, begitu teramat menderita. Ia tak pernah membayangkan, bahwa sehelai kain akn menyimpan getaran dahsyat yang pribadi menusuk pada jiwanya yang paling dalam. Pola-pola dari silangan benang emas dan benang perak, liuk-liukan garis yang mirip api, cinta, dendam, serta gambar gambar dekoratif dalam olahan lambang daun, tanah, laut, dan langit,telah menuntutnya untuk berkaca pada dirinya, serta hatinya. Alangkah dalam sentuhan jiwa yang paling perih, alangkah gila cinta yang tertahan rindu dan kehilangan, alangkah ganas dendam yang terekam dalam keputusasaan, alangkah indah jiwa-jiwa yang halus! Sungguh Zhu merasa telanjang dan malu. Betapa ia malu.

Dengan segera ia menyebar orang-orang untuk mencari jejak Sulaiman.

“Carilah mereka. Geledah setiap kamar penginapan. Periksa setiap ruas jalan pintas perkampungan. Mereka gres pergi dua belas jam! Kalian paham? Bawa mereka kesini, bawalah mereka...”


Zhu memberi perintah pada semua yang ada, setengah memohon, setengah menangis. Ia lantas berlari ke tengah halaman, melihat langit, dan mencoba menemukan wajahnya sendiri di keluasan langit. Pada awan-awan yang berarak. Pada biru warna yang mirip cermin. Hingga larut malam tak ada kabar. Hungga Zhu tertidur memeluk delapan belas kai tapis.

Hingga impian pagi harinya berubah semakin tipis. Dan pada siang hari, seorang pencari mengetuk ruangan Zhu sambil berkata,

“Merekaa suda ada di depan, Nona.”

Alangkah aneh, ketika Zhu pribadi menghambur dan memluk Nyiwar, “Tidak sepatutnya saya meminta kalian pergi. Aku meminta maaf. Tinggallah disini.”

“Terimakasih Nona. Tapi kenapa ?” Sulaiman menyela.
               
 Ia merasa heran.


“Aku malu dengan kebesaran Ayah, kemuliaan leluhur, yang menitipkan namanya padaku. Kami pernah mengalami hal serupa denganmu, Sulaiman. Dan kini, saya siap dengan segala resiko. Sekali lagi, saya mohon, maafkan keputusanku yang terburu-buru kemarin. Tinggallah di sini.” Betapa Zhu ingin terus memeluk Nyiwar,melihat kedalaman matanya, mencicipi kerut tanganya, dan melihat ada apakah dibalik badan rapuh yang sesunggunya eramat perkasa ini? Dari mana datangnya kehalusan jiwa sehingga tangan keriput ini bisa mengalirkan keindahan,kobaran cinta, kerinduan sedih, serta dendam putus-asa, lewat tarian sulaman kain tapis yang begitu menggetarkan? Ia ingin bertanya. Ia ingin menyelam. Ia ingin merengkuhkan seluruh tubuhnya, dan dengan hormat memanggil “Ibu.”

Maka setiap malam, ia selalu tiba mengajak Nyiwar menyelami langit di halaman, duduk berdua, meliat maritim melewati bulan.



“Bulatan cahaya bulan,bunga, kopi, dan warna maritim diatas kain tapis,seperti hamparan tanah,Nona. Benang emas akan mengalir dengan gerak batang jarum sebagai takdir. Seperti impian ketika membesarkan Sulaiman. Seperti cinta yang tak habis pada ayah Sulaiman. Seperti menyayangi rumah dan tanah. Cobalah Nona genggam sekepal tanah,rasakan denyutnya. Kain tapis, benang, warna-warna, semua akan berdenyut kalau dirasakan dengan benar.”


Nyiwar akan terus bicara, dan Zhu dengan sungguh-sungguh menyimak.


Kadang wacana masa kecil Sulaiman,. Tentang penembakkan. Tentang air mata yang mengalir ketika menanam benih kopi. Tentang gelak tawa. Tentang air hujan. Tentang pembakaran rumah. Tentang apa saja.

“Jadi Ibu membesarka sulaiman sendiri?”

“Dengan tanaman kopi, ya, dengan sedikit getah damar. Semua,semua,semua yaitu tinggal keringat kami. Dan juga doa.”

 Nyiwar kadang terkekeh ketika menceritakan Sulaiman.



“Ia mirip ayahnya, dengan naluri besar melindungi dan membela para petani. Menyelundupkan biji-biji kopi biar tetap bisa dijual, dan banyak sekali upaya biar petani bisa bertahan, ditengah banyak sekali ancman. Ia mirip ayahnya. Tak bisa melihat orang lain menderita. Kau tahu, Nona, ia melihat dengan kepala sendiri, ketika ayahnya ditembak mati.”


Adakah yang gentar menolak takdir? Saat cahaya langit terus berganti,maka cahaya hati juga bisa berganti. Setiap kali Zhu memandang di kejauhan kamar, tempat lelaki itu membuka jendela, ia selalu melihat bayangan ribuan kunang-kunang yang melesat memnuhi hatinya. Ia tiba-tiba saja mencicipi bagaiman angin yang bertiup dari kamar Sulaiman, adala tiupan harum seribu bunga. Ia benci jatuh cinta, tapi ia juga tak bisa menolak jatuh cinta. Berhari, berminggu, kekaguman pada lelaki itu semakin tumbuh. Wawasanya yang luas, cara bicaranya yang sopan, dan terutama; tindakan-tindakan berbahaya yang terus ia lakukan meskipun ia dalam persembunyian. Ia terus menggalang kontak dengan para petani, mencatat data, mencari bukti-bukti. Berkali sulaiman tak pulang dan Zhu menjadi cemas. Maka berkali ketika jadinya Sulaiman muncul, rona wajah Zhu menjadi purnama.

Zhu Ni Xia, wanita matang yang kini telah menentukan takdirnya. Pada malam ketika barang singgah dibandar, ia menitipkan pesan untuk ayahnya.

“Aku telah menemukan lelaki,Ayah! Dan saya jatuh cinta kepadanya. Datanglah segera untuk menjadi wali putrimu tercinta.”



Ada purnama, ada cahaya, tapi ada lautan yang mengirimkan badai.


“Sampaikan pada Sulaiman, saya bersedia menjadi istrinya,” begitu ia meminta kepada Nyiwar, dan begitulah Nyiwar menyampaikan pada Sulaiman. Lalu bulan berganti.

Ketika madu tumpah dilautan, ketika ia telah resmi memanggil Ibu kepada Nyiwar, dan begitulah Nyiwar wanita lembut sekokoh karang dan ia resmi memanggil Abang kepada suami, angin ibukota tiba-tiba mengirimkan angin puting-beliung lebih besar pada parasnya yang jelita.



Dari Teluk Jakarta sebuah kapal perang berpenumpang ratusan prajurit merapat di Bandar, mengendap di subuh hari. Mengepung kota, menyisir gunung. Berita pemberontakan petani kopi kembali pecah menjadi prahara.

Segerombolan lelaki bernafsu mendobrak gerbang pintu rumah pengantin jelita, aben gudang dan memporakporandakan segala.

Teriakkan kata penghianat dan penadah, mengawali letusan tembakkan dipagi buta. Sulaiman digelandang paksa meninggalkan ceceran darah, dan tatapan penu cinta.

Kegembiraan separuh umur, dan kesedihan pada ujung hidupnya, membuat runcing jari-jari Zhu pandai menari. Menari dan bernyanyi diatas hamparan kain sulaman. Menyerut seluruh jiwa yang sedih, yang gembira, yang mabuk dan putus asa. Larutan asmara, nyanyian cinta, kerinduan perih dan kebanggaan kepada tana tempat lelakinya terkubur.


Ia menyeru diatas ssehelai kain pelepai, menggambar pola-pola yang rumit,dan membayangkan seluruh dirinya masuk. Menjadi naga yang  mengerakkan seluru gelombang tanah, bukit, gunung-gunung, menjadi liukan benang-benang emas dan rajutan benang-benang perak yang berkelit dan berkelindan dalam gulungan warna aroma ombak, hijau daun, putih awan. Ada merah api cinta y6ang semerbak disana, ada kuning sejarah yang membentang diatas helai kain pelepai sehabis dicipta berhari hari.


Begitu indah, dan selalu: delapan belas hari kemudian ia akan berjalan dari Danau Menjukut ke arah bukit. Mencari angin yang bisa memberikan gema suaranya ke arah laut. Mencari tempat di mana ia bebas memandang pada titik pantai Tanjung Cina, yang diapit Selat Sunda serta Samudera Hindia. Diatas kerikil ia selalu akan menjiplak gerak laut, mengubarkan kain tapis dan berteriak gembira, “Sulaiman. Sulaiman. Itulah kain tapismu yang ke 340! Akulah Zhu, istrimu. Perempuan yang telah membuat tarian sulaman benang dari separuh jiwaku. Dan kini saya bicara padamu! Sulaiman. Sulaiman. Itulah Zhu, dan saya bicara padamu!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar